Setelah
lima ratus tahun lebih tiada tampak sosok seorang putra Indonesia yang
mengenakan jubah kuning, maka baru pada tahun 1954 ada seorang putra
Indonesia kembali mengenakan jubah kuning itu. Putra kelahiran Bogor,
Jawa Barat ini muncul sebagai Bhikkhu pertama Indonesia untuk menyambung
kembali Sangha yang telah tenggelam semenjak runtuhnya Kerajaan
Majapahit di awal abad 14.
Bumi Pertiwi bergetar, janin kebhikkhuan yang telah lama dikandungnya akan tiba di tanah air. Dua ratus pasang mata umat Buddha yang memancarkan harapan besar bagi kejayaan kembali Agama Buddha menanti tidak sabar kemunculan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di Bandar Udara Kemayoran. Sore itu langit cerah, meski ada awan tipis sedikit, namun tidak menghalangi pesawat yang membawa bhikkhu pertama Indonesia dari Burma itu mendarat, tepat pada pukul 16.55 WIB, 17 Januari 1955.
Pada hari itu jejak langkah bhikkhu pertama Indonesia di Nusantara
dimulai. Nusantara yang subur telah lama menanti adanya penabur benih
Buddhadharma yang sekaligus akan mengembalikan kembali kejayaan agama,
bangsa, dan negara. Dan memang, kembalinya Bhikkhu Ashin ke tanah air
itu membawa kegairahan bagi segenap umat dan pejuang Dharma. Maka
langkah awal Putra Indonesia yang mengenakan jubah kuning itu adalah
sekaligus sebagai langkah dalam menyambut datangnya era 2500 tahun
Buddha Jayanti.
Sang Penabur
Tee Boan An, begitulah nama Beliau sebelum menjadi Bhikkhu, lahir di
Bogor pada 23 Januari 1923. Lebih dari separuh (48 tahun) masa
kehidupanNya dilalui sebagai seorang pejalan kesucian menjalani
kehidupan sebagai bhikkhu. Kehidupan spiritual yang dijalaninya itu jauh
sebelumnya juga telah ditampakkan ketika masih muda. Seperti Siddharta
Muda layaknya, ketimbang urusan duniawi, Pemuda Tee Boan An justru malah
menggemari masalah kebatinan dan Theosofi yang mempelajari masalah
hakekat kehidupan sejati.
Malah, pemuda yang sewaktu kecil pernah minggat dari rumahnya di Jl.
Roda – Bogor berjalan kaki satu hari penuh sampai di Cibubur ini
tercatat sebagai Pengurus Pusat Pemuda Theosofi Indonesia. Organisasi
Theosofi yang mempelajari inti hakekat kebenaran dan kehidupan dari
semua ajaran agama ini menyimpan benih-benih Buddhadharma. Melalui
Theosofi inilah, pemuda Tee Boan An mengenali lebih dalam Buddhadharma,
dan sekaligus membentuk pandangan Buddhisnya yang inklusif,
non-sektarian.
Selain itu, organisasi Gabungan Sam Kauw Indonesia, yang juga
mempelajari dan menyebarluaskan tiga ajaran, di mana satu diantaranya
adalah Buddhadharma, adalah juga rahim yang menyimpan benih-benih
Buddhadharma, di mana pemuda Tee Boan An menimba dan mereguk manisnya
sari-Dharma. Melalui organisasi Theosofi dan Sam Kauw, dua rahim yang
menyimpan benih-benih Buddhadharma yang membangkitkan kembali Agama
Buddha. Pemuda Tee Boan An atau yang kemudian menjadi Bhikkhu Ashin
Jinarakkhita adalah Abdi Dharma yang menabur benih-benih Buddhadharma
itu kembali di bumi Nusantara.
Mulailah langkahnya yang spektakular berjalan. Tanpa keluh kesah melalui tuntutan kemudahan fasilitas, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dengan segala kesederhanaan dan apa adanya menyatroni seluruh pelosok Nusantara menanam benih Buddhadharma. Lebih jauh dari itu di mana ada suatu daerah yang ia singgahi maka di situ pula ia meletakkan jubah kuning dengan harapan ada putra-putri daerah setempat yang akan mengenakannya. Suatu tindakan yang berlatar belakang wawasan yang luas, penuh cinta kasih, dan amat memahami akan makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika bagi perwujudan komunitas Sangha Indonesia. Berbagai sudut daerah di Nusantara ini tidak ada yang tidak pernah dikunjungiNya. Dari Nanggroe Aceh Darussalam sampai Papua. Dari Manado sampai Tanah Batak. Dari berbagai pelosok daerah di Jawa, sepanjang Sumatera sampai Kalimantan. Semuanya tidak ada panji Buddhis yang tidak berkibar karena kiprahNya. Begitupun berbagai tempat ibadah Umat Buddha baik kelenteng di berbagai kota maupun cetiya di desa terpencil dimasukiNya, tiada pilih kasih, tidak pilih soal sekte atau aliran, semata demi cinta kasihNya menanam benih Buddhadharma. Tidak terbayangkan, bagaimana sosok jubah kuning ini berkelana ketika itu, masa-masa di mana alat transportasi masih begitu minim, masa-masa di mana Negara Indonesia masih sedang menata dirinya. Sang Pelopor
Makhluk manakah yang tiada tergetar akan langkah dan tindakan tanpa
pamrihNya itu? Umat Buddha manakah yang tiada salut dan menghormatiNya?
Umat Buddha manakah yang tidak tergerak hatinya oleh semangat Bhikkhu
Ashin untuk turut bersama-sama berjuang mengibarkan panji Buddhis di
bumi persada ini? Board of Elders World Buddhist Sangha Council (WBSC)
ini memang pantas disebut sebagai pelopor kebangkitan Agama Buddha
Indonesia. Dari langkahNya sebagai sang penabur benih Dharma di bumi
Nusantara itu akhirnya menggetarkan dada dan hati pemuda Indonesia
lainnya untuk sama-sama berjuang, menggerakkan langkah dalam mengabdi
kepada Buddhadharma.
Sebagai bhikkhu pertama bangsa Indonesia, hampir bisa dipastikan setiap
anggota Sangha di Indonesia dari Sangha manapun ia berada, bila
dirujuk-rujuk silsilahnya maka akan berujung pula kepada diriNya. Karena
itulah, kepergian Beliau yang sadar menuju bahagia, sempurna dalam
kebajikan pada hari Kamis, 18 April 2002, pukul 07.20 di Jakarta, di
kota di mana para anggota Sangha yang tergabung dalam KASI sedang
berkumpul mengadakan Maha Sabha I, secara historis menyimpan makna yang
sangat dalam bagi segenap anggota Sangha. Baik itu dalam arti yang
bersifat retrospektif jauh ke belakang di masa lampau maupun perspektif
ke depan di masa datang. Lebih dari itu, wafatNya Beliau ketika segenap
Sangha sedang berkumpul hanya beberapa km dari tempat berbaringNya di
rumah sakit Pluit – Jakarta Utara sekaligus menegaskan keberadaan Beliau
sebagai Sesepuh Sangha Indonesia dan sesepuh umat Buddha Indonesia. Dan
mereka pun semuanya datang bersujud memberi penghormatan terakhirBanyak kemudian yang mengikuti jejakNya dan menjadi muridNya. Pemuda Ida Bagus Giri yang di-Upasampada-kan sebagai Samanera Jinagiri (dikenal sebagai Bhikkhu Girirakkhito, pernah sebagai Ketua Umum Walubi dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia) meninggalkan kehidupan berkeluarganya itu ditengah-tengah ratap tangis istrinya yang datang ke Watugong – Semarang dan selalu dihibur oleh pemudi Parwati Soepangat. Kita juga tidak bisa membayangkan bagaimana pemuda Oka Diputhera (mantan Direktur Urusan Agama Buddha, yang sumpahnya dengan bunyi “..demi Sanghyang Adi Buddhaya..”) jadinya sekarang, bila sewaktu muda ketika terkena penyakit patah hati itu tidak berjumpa dan mendapat penghiburan dari Bhikkhu Ashin melalui latihan meditasi Vipassana di Watugong – Semarang. Atau kenanglah pula bagaimana ketenangan dan kedamaian yang terpancar dari wajah pemuda Samanera Dharmasagaro (sekarang Dharmasagaro Mahasthavira, mendirikan Sangha Mahayana Indonesia) di tahun 1970-an yang sedang melatih diri di Vihara Sakyawanaram Pacet dibawah bimbingan Bhante Ashin. Tidaklah mungkin menyebutkan satu-persatu tokoh-tokoh Buddhis yang bila mau membuka arsip sejarah banyak yang memiliki asal-muasalnya dari sang penabur benih Dharma di bumi Nusantara ini. Baik itu tokoh yang tetap mengikuti garis pandangan dan wawasan keBuddhisannya yang pluralistik-inklusif dalam kendaraan Buddha, Buddhayana, ataupun mereka yang tidak lagi sehaluan, namun tetap mengatasnamakan mengembangkan Buddhadharma. Kepeloporan Bhikkhu Ashin Jinarakkhita di dalam membangkitkan kembali Agama Buddha di bumi Nusantara ini sesungguhnya bukanlah sekedar bahwa dia adalah bhikkhu pertama yang dariNya mengalir berbagai siswa-siswa yang kemudian banyak menjadi pemuka dan pemimpin Buddhis. Lepas dari sosok pribadiNya sebagai bhikkhu pertama yang memang kharismatis, kepeloporan itu juga terletak pada pemikiranNya, pandanganNya, dan wawasanNya yang jauh dan luas, di dalam mengembangkan Agama Buddha. Yakni Agama Buddha yang pluralistik dan inklusif tidak eksklusif sektarian, dan sesuai dengan jiwa kerohanian kultur religius bangsa Indonesia. KepeloporanNya itu juga dicerminkan melalui gerakanNya di dalam menyebarluaskan Buddhadharma yang tidak bersifat personal-pribadi melainkan secara institusional, melalui pendirian berbagai ragam organisasi Buddhis yang berskala nasional. Kendaraan Buddha Melalui wawasan yang luas dan dalam terhadap segenap mashab dan aliran Agama Buddha yang ada khususnya benih Buddhadharma yang bersemayam di bumi Nusantara ini, maka terpancarlah dari hati dan pikiran jernih Dewan Sesepuh Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) ini suatu konsep pengembangan agama Buddha di Indonesia yang pluralistik, inklusif dan kontekstual. Biarlah beragam mashab agama Buddha itu tumbuh dalam suatu taman sari yang harmonis, tidak sektarian serta dikembangkan sesuai dengan budaya religius dan jiwa kerohanian bangsa Indonesia. Konsep ini tumbuh berkat penggalian pemikiran dan wawasanNya yang intens dengan menimba khasanah puspa ragam kekayaan Buddhadharma maupun mutiara Dharma yang terpendam di bumi Nusantara. Selain itu, kemunculan wawasan dari bhante yang terkenal sebagai sang pengasuh nan bijaksana ini juga berkat kemampuanNya di dalam menyelami dan menghayati Hukum Kesunyataan ajaran Sang Buddha mengenai Paramartha-Satya dan Samvrti-Satya, yakni pandai menempatkan dan menilai mana yang universal, mutlak dan mana nilai yang relatif, terkondisi. Dari pandangan Maha Nakaya Sangha Agung Indonesia dan pendiri Majelis Budddhayana Indonesia ini seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan oleh pujangga Buddhis Mpu Tantular yang telah sungguh-sungguh dipahami dan dihayati. Itulah sebabnya mengapa beragam mashab di dalam Agama Buddha berikut dengan pejalan kesucianNya atau Sangha-Nya (Theravada, Mahayana, dan Tantrayana) berada dalam satu organisasi Sangha, seperti Sangha Agung Indonesia (1974), serta berada dalam suatu majelis yang sifatnya tidak eksklusif seperti Majelis Buddhayana Indonesia. Dalam pandangan bhante yang telah tercerahkan mengenai bekerjanya Hukum Kesunyataan secara dialektis itu, beragam mashab itu sesungguhnya adalah cerminan dari satu-Buddha, satu kendaraan Buddha, Buddhayana. Latar belakang hidup serta petualanganNya di jalan spiritual, menjadikan Maha Nakaya Sangha Agung Indonesia sebagai sosok pribadi yang toleran dan bijaksana. Murid-muridNya muncul, datang dan ada pula yang pergi meninggalkanNya. Namun Beliau tetap menganggap semuanya itu sebagai cerminan Hukum Kesunyataan, tiada sesuatu yang hilang dan juga bukan sesuatu yang perlu dimiliki. Bila telah meninggalkan hidup keduniawian, maka amatlah pantas untuk memahami kerjanya Hukum Kesunyataan, bahwa tiada sesuatu yang dimiliki dan tiada sesuatu yang hilang, karena di dalam keheningan batin yang terdalam segalanya itu tampak penuh di dalam kekosongannya. Sejarah kehidupan spiritualnya menjadikan pencetus Waisak pertama kali di tahun 1953 ini menyerap berbagai kekayaan Buddhis dari berbagai mashab. Disamping menerima jubah keBhikkhuanNya melalui Y.A. Agga Maha Pandita U Ashin Sibhana Mahathera atau lebih dikenal sebagai Y.A. Mahasi Sayadaw di Burma pada bulan April 1954 yang memberinya nama Jinarakkhita, sebelumnya Beliau juga menerima pentahbisan SamaneraNya dari Y.A. Sanghanata Aryamula Mahabhiksu (Pen Ching Lao He Sang) di Jakarta pada 29 Juli 1953. Sedangkan nama Ashin yang disandang dan menjadi sebutan yang begitu familiar dan bersahabat itu merupakan gelar yang diberikan para rohaniwan Burma untuk bhikkhu yang patut dihormati secara khusus. Gelar itu telah Beliau sandang sejak masih muda ketika menginjakkan kakinya di tanah Burma dan kemudian menjadi bhikkhu. Bukan saja bumi di seberang yang diinjaknya patut dikenali dengan sebaiknya, dia juga amat sangat mengenali bumi di mana dia dilahirkan, khususnya kerohanian bangsanya yang telah menyerap Buddhisme mashab Mahayana-Tantrayana. Bhante Ashin juga pengagum Dalai Lama, pemimpin spiritual Buddhis Tantrayana Bangsa Tibet yang terkenal dengan kelemah-lembutanNya dan kewelas-asihanNya. Sesepuh Sangha Dari tangan alumni THS Bandung (sekarang ITB) yang memperjuangkan Agama Buddha berskala nasional inilah lahir beragam jenis organisasi Buddhis tingkat nasional. Seperti PUUI (Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia), Perbudhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia), MUABI (Majelis Upasaka-pandita Agama Buddha), yang kemudian menjadi MBI (Majelis Buddhayana Indonesia). Beliau juga membidangi organisasi bagi para pejalan kesucian seperti Sangha Suci Indonesia, Maha Sangha Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia. Dalam ke semua organisasi Sangha itu Beliau senantiasa terpilih sebagai Maha Nayaka (ketua umum). Dan dalam Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) yang di dalamnya tergabung tiga organisasi Sangha (Sangha Agung Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia, Sangha Theravada Indonesia), Bhante Ashin sampai akhir hayatNya tercatat sebagai Dewan Sesepuh KASI yang merupakan kulminasi perjalanan organisasi Sangha di Indonesia yang muncul di era reformasi yang dimotori oleh kedua Sangha Indonesia.
Maka ratusan ribu mungkin jutaan umat, serta makhluk-makhluk tak
terlihat lainnya yang tidak terhingga pun datang bersujud memberikan
penghormatan terakhir kepada sosok jenazahNya yang disemayamkan dalam
posisi sedang bermeditasi di Ekayana Buddhis Centre selama satu minggu,
dari tanggal 18 sampai 25 April 2002. Dari pusat ibukota itu,
jenazahNya kemidian disemayamkan selama dua hari di Bandar Lampung, dan
disempurnakan di Krematorium Yayasan Bodhisattva, Bandar Lampung pada
hari Minggu 28 April 2002, Jam 09.00 WIB.
Pada akhirnya abu jenazah, Bhikkhu Ashin yang sewaktu muda telah cinta alam, suka naik gunung Gede ini disemayamkan selama 49 hari di tempat tinggal Beliau selama ini, Vihara Sakyawanaram, Pacet, Cianjur, Jawa Barat dikaki Gunung Gede, di Lembah Cipendawa, sebuah tempat yang indah dan sangat disukaiNya. Bhante Ashin telah tiada, tidak ada lagi perbincangan yang hangat dan lembut dengan sorotan matanya yang ramah. Tetapi abu jenazah sang ksatria Buddhadharma Indonesia ini akan senantiasa terdapat di dalam Pagoda Vihara Sakyawanaram yang diletakkan pada tanggal 5 Juni 2002 untuk selama-lamanya. Sang pelopor itu kini telah tiada, namun tiada yang dapat menghapus nama Beliau dari catatan buku sejarah perkembangan Agama Buddha sebagai pelopor kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia dan sesepuh Umat Buddha Indonesia. Pastilah setiap berkunjung ke Vihara Sakyawanaram, getaran cinta kasih dan kebijaksanaan pertapa Gunung Gede ini akan terasakan. Karena segenap jasa kebajikanNya akan selalu ada dalam kenangan dan mengilhami segenap pejuang Buddhadharma di persada Nusantara. Selamat menempuh kehidupan sempurna, Bhante! (Jo Priastana) |
Translate
Rabu, 06 Juni 2012
SESEPUH UMAT BUDDHA INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar