Pendahuluan
Dalam
pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan
kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh
memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat
menjadi pertapa di vihara – sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini,
silacarini – ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak
adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas
kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya
ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya
adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap
ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.
Mencari dan Membina Pasangan Hidup
Dalam menguraikan tujuan hidup
manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang adanya pencapaian
kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai
kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan
cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan
baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri.
Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha
Nikaya III, 152, 232 dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di
sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk
mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri
yang harmonis. Keempat hal itu adalah:
1. Kerelaan (Dana)
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya
Dalam mencari dan membina pasangan
hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal
perkenalan dapat dikembangkan menuju kemampuan merelakan keakuan.
Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian,
saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena
disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang
lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali – kali kepada
pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan
kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kemarahan bukanlah tanda cinta.
Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi.
Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima
kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu
tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan
pasangan hidup.
2. Ucapan yang Baik/Halus (Piyavaca)
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.
Sampaikanlah pujian kita pada pasangan
dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada
pasangan dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari
kesalahpahaman.
Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.
3. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Dengan demikian, tingkah laku
hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai.
Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang
yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai.
Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai
sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang
yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam
kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang
membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk
membahagiakan dirinya?
4. Batin Seimbang, Tidak Sombong (Samanattata)
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.
1. Kesamaan Keyakinan (sadha)
Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.
Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.
Namun demikian, keyakinan yang berbeda
sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak
bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan
keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan
keharmonisan terganggu.
Butuh toleransi dan pengertian yang
besar dari kedua belah pihak. Berbagai masalah akibat perbedaan
keyakinan pun masih dapat terus muncul apabila hubungan akan dilanjutkan
dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan dapat
menjadi beban ekstra. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus
berlanjut Pasangan mungkin akan terus terlibat dalam diskusi
berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama
bagi keturunan mereka.
2. Kesamaan Kemoralan (sila)
Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.
3. Kesamaan Kedermawanan (caga)
Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.
Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.
3. Kesamaan Kedermawanan (caga)
Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.
Memiliki watak kedermawanan yang sama
dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta
sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita
cintai dengan iklas dan tanpa syarat. Selama sikap ini masih belum
tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat
tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.
4. Kesamaan Kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.
Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa
hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini
hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena
itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka
ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma
memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan.
Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah
yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup
sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.
Upacara Perkawinan Buddhis di Indonesia
Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha
tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal
ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari
kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan
tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan
diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin.
Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak
keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu
sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan
kebahagiaan pasangan yang baru menikah.
Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis
menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah
adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat
itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian
penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi
yang menikah telah dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat
berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai
kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan
bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang,
maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki,
hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran
negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman
hidupnya.
Itulah uraian singkat pada salah satu
dari sekian banyak proses pernikahan Buddhis yang biasanya dilaksanakan
di vihãra-vihãra di Indonesia. Proses tersebut dapat dikatakan sebagai
puncak acara pernikahan Buddhis yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Jika ingin lebih jelas, dapat menyempatkan diri untuk menyaksikan
pernikahan Buddhis di vihãra terdekat.
Membina Keluarga Buddhis Bahagia
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah : a. Hak dan Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah : a. Hak dan Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga hendaknya
selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya
Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan
kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan: ‘Sebaiknya orang
selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa
pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari
pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar
muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya’. Pola pandangan
hidup ajaran Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin
ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.
b. Kemoralan
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang
menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)
Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.
c. Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang
menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)
Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.
c. Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
Mengetahui pentingnya kondisi ekonomi
untuk kebahagiaan keluarga, maka Sang Buddha juga telah menguraikan
dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285. Dalam nasehat Beliau
di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat memperbaiki
kondisi ekonomi keluarganya, yaitu:
Ø Pertama, orang hendaknya rajin dan bersemangat di dalam bekerja mencari nafkah.
Ø Kedua, hendaknya ia menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang
telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannya mudah
hilang atau dicuri. Orang hendaknya juga terus menjaga cara bekerja
yang telah dilakukannya sehingga tidak mengalami kemunduran atau
kemerosotan.
Ø Ketiga, berusahalah untuk memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta
Ø Keempat, berusaha menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu boros, dan juga tidak terlalu kikir.
Melaksanakan tuntunan cara hidup yang
diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan
keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga
telah dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga
tersebut, maka untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya
lagi dapat disimak Sabda Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya
II, 249 yang menyebutkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di
dunia ini, semua disebabkan oleh empat hal, atau sebagian dari keempat
hal itu. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah menumbuhkan
kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, makan
dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.
Harus disebutkan pula bahwa
kesinambungan adanya semangat bekerja memegang peranan penting untuk
keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal ini dalam
Khuddaka Nikaya 2444, yaitu bekerjalah terus pantang mundur; hasil yang
diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita. Dan bila
semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan, maka tiada lagi
kekuatan yang mampu menghalangi keberhasilannya. Sang Buddha pernah
bersabda dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa ‘seseorang yang tak gentar
pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang
bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan
manfaat yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi
keberuntungan. Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya’.
d. Perkawinan harmonis
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.
Sang Buddha lebih lanjut menguraikan
tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan
juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai
apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah
mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti
yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu
bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau
menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan
perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa
dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi
suami (Samyutta Nikaya 165).
Sedangkan tugas istri terhadap suami
adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami,
setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak
malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala
tanggung-jawabnya.
Konsekuensi logis lembaga perkawinan
adalah melahirkan keturunan. Dan, Sang Buddha juga memberikan
petunjuk-Nya agar terjadi hubungan harmonis antara orang tua dan anak
serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila masing-masing
pihak menyadari dan melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu, dalam
kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang
tua, yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah
laku yang patut sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan
pelimpahan jasa bila orangtua telah meninggal. Lebih lanjut dalam
Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa ayah dan ibu adalah Brahma (makhluk
yang luhur), ayah dan ibu adalah guru pertama, ayah dan ibu juga adalah
orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya.
Mengingat sedemikian besar jasa serta
kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kewajiban anak di atas
sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti yang telah
disebutkan dalam Khuddaka Nikaya 33, yaitu bahwa ‘Penghormatan,
kecintaan, dan perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di
dunia ini’. Sedangkan dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa ‘Anak
yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai
anak’. Oleh karena ‘Ibu adalah teman dalam rumah tangga’ (Samyutta
Nikaya 163).
Dengan adanya ‘rambu-rambu’ rumah tangga yang diberikan oleh Sang Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan ajaran Sang Buddha tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun dalam bangsa dan negara kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar